Menarik memperhatikan latar belakang orang-orang kaya Indonesia. Keluarga Bakrie, Tohir, Soeryadjaya, TP Rahmat, Arifin Panigoro, Low Tuck Kwong menjadi pebisnis-pebisnis besar, di antaranya, karena jasa tambang batubara, minyak bumi, dan perkebunan. Dengan kata lain, usahawan Indonesia menjadi besar, di antaranya, karena masih sangat mengandalkan sumber daya alam.
Sah menjadi usahawan batubara dan minyak bumi sepanjang taat aturan dan bayar pajak. Gugatan yang patut diajukan di sini ialah belum semua pebisnis nasional berpikir jauh ke depan. Kelas sebagian pebisnis nasional masih ”petik-jual”, belum taraf, ”petik-olah-jual”. Minyak bumi, termasuk perusahaan milik negara, masih memompa minyak mentah dan sebagian dijual ke konsumen di luar negeri. Indonesia lalu membeli minyak yang sudah diolah di Singapura dengan harga jauh lebih mahal. Memang absurd negeri ini, membeli minyak yang sudah diolah dari negara yang tidak punya minyak mentah sama sekali, seperti Singapura.
Dalam pikiran sederhana, kita suka bertanya-tanya, mengapa negara atau para usahawan besar tidak ”bersatu” untuk membangun, sebutlah infrastruktur yang memadai, yang tidak lagi membuat negeri ini masih berbisnis secara primitif. Gaya ”petik-jual” sudah sangat ketinggalan zaman. Malah menjadi bahan cemooh negara-negara lain. Yang menarik dilakukan dan itu justru mencerminkan tipikal negara maju adalah bagaimana ”memetik-mengolah-menjual”.
Pemerintah semestinya mengambil inisiatif lebih taktis dan strategis untuk mematahkan gaya bisnis primitif ini. Eksportir lain, misalnya minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO), boleh mengekspor CPO dalam jumlah amat besar, tetapi ajak juga mereka mengolah CPO itu menjadi bahan olahan untuk ekspor dalam volume amat besar. Kalau bisa, sama banyaknya dengan nilai ekspor CPO. Kalau Indonesia sudah mampu melakukannya, sama dengan mempraktikkan lompatan jauh ke depan.
Tentu tidak hanya CPO, minyak mentah dan sejumlah komoditas lainnya yang patut disoroti. Masih banyak komoditas lain yang perlu mendapat perhatian, misalnya ekspor ikan, udang, karet, dan kakao yang tidak diolah. Kita terkesan tidak mau letih, tidak mau membiasakan diri untuk berpikir. Kita ekspor karet dan kakao, lalu menerima cokelat sangat enak, perangkat kosmetik, serta bahan dari karet, seperti tas, sepatu, dan alat-alat rumah tangga. Ayolah kita berpikir ke depan dengan mempraktikkan ”petik-olah-jual”. (Abun Sanda)
0 komentar:
Posting Komentar